Cengkraman China di Laut China Selatan
  • 26/01/2017
  • |
  • Pertahanan
  • |
  •   Ditulis oleh Anta Nasution

Cengkraman China di Laut China Selatan

Facebooktwitter

Bogor, RuangRakyat — Tidak bisa diragukan lagi bahwa China merupakan rising star di kancah international. Jika berkaca pada sejarah, China merupakan negara yang besar karena peradabannya yang sudah ada selama ribuan tahun. Selama berabad-abad China merupakan negara benua atau negara yang memusatkan kegiatannya di darat, seperti pertanian dan industri. Namun, belakangan ini China terlihat “galak” di laut, mungkin hal ini dikarenakan kepentingan China terhadap jalur pelayaran, sumber daya energi laut, dan pertahanan laut yang mulai meningkat. Dimulai dari klaim sepihaknya tentang kepemilikan sebagian besar (90%) Laut China Selatan. Hal ini tentunya membuat geram sebagian negara Anggota ASEAN yang wilayah lautnya terkena klaim oleh China, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei.

China mengukuhkan klaimnya terhadap sebagian besar wilayah Laut China Selatan dengan membuat sembilan garis putus-putus atau nine dashed line yang didasari pada fakta sejarah yang China miliki. Padahal sampai hari ini China belum menentukan titik koordinat pasti dimana persisnya letak sembilan garis putus-putus tersebut. Gambar di bawah ini menunjukan wilayah-wilayah laut China Selatan yang diklaim oleh China. Menurut UNCLOS 1982, setiap negara pantai berhak akan zona ekonomi ekslusif sepanjang 200 mil, maka jelas dalam hal ini China sudah melanggar UNCLOS 1982, padahal China sendiri telah meratifikasi UNCLOS 1982.

Laut China Selatan memiliki sumber daya perikanan yang melimpah dan juga kandungan gas alam dan minyak yang besar, menurut salah satu dokumen China yang dikeluarkan oleh The Theoritical Departement of The Lhonggou Quingnian Bao nilainya mencapai 1 triliun US dollar (fkpmaritim.org). Selain itu, Laut Cina Selatan merupakan jalur terusan bagi kapal-kapal niaga dari hampir seluruh dunia setelah melewati Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok. Kawasan LCS dilewati oleh berbagai jenis kapal yang mengangkut sumber energi, termasuk 70 persen kebutuhan energi Jepang dan 65 persen kebutuhan energi China.

Klaim sepihak yang dilakukan China terhadap wilayah Laut China Selatan saat ini telah menjadi sengketa dengan beberapa negara anggota ASEAN. Tidak jarang sengketa ini berujung pada konfrontasi angkatan bersenjata, seperti pada tahun 1988, dimana China membunuh sejumlah tentara marinir Vietnam karena China menduduki paksa Johnson Reef yang merupakan salah satu pulau yang ada di kepulauan Spratly (salah satu kepulauan strategis yang ada di Laut China Selatan).

Kemudian pada tahun 2013, Filipina membawa gugatan sengketa klaim sepihak China ke pengadilan Arbitrase di Den Haag. Hasilnya pun mencengangkan karena dimenangkan oleh Filipina. Namun, China tetap berkelit bahwa hal itu tidak akan menyelesaikan sengketa malahan bisa menambah runyam masalah. China tidak mengakui hasil pengadilan arbitrase tersebut. Yang anehnya lagi, China sering menangkapi nelayan Filipina dan Malaysia yang menangkap ikan di wilayah mereka sendiri, hanya karena wilayah tersebut berada dalam klaim nine dashed line yang dibuat China.

Lalu adakah hubungan antara klaim nine dashed line yang dibuat China dengan wilayah laut Indonesia? Jawabannya, sudah barang tentu ada. China mengklaim sebagian wilayah perairan pulau Natuna, bahkan secara terang-terangan China menyatakan bahwa wilayah perairan Natuna adalah zona penangkapan ikan tradisional milik China, padahal jarak dari pulau Hainan (wilayah paling selatan China) ke pulau Natuna sekitar 900 mil. Kemudian ada satu hal yang unik, nelayan-nelayan China yang melakukan penangkapan ilegal di wilayah perairan Natuna sering kali dikawal oleh Coast Guard China. Seperti pada kejadian 19 Maret tahun 2016, dimana kapal pengawas perikanan Indonesia yang akan menangkap kapal Kway Fey (kapal ikan China) di perairan Natuna karena terindikasi mencuri ikan di wilayah laut Indonesia harus berhadapan dengan Coast Guard China.

Perlu diketahui bahwa kapal Coast Guard atau penjaga pantai hanya boleh berlayar dan beroperasi di wilayah laut teritorial dan yuridiksi sebuah negara. Jika kapal Coast Guard China berani beroperasi di wilayah perairan Natuna, Maka secara nyata China menanggap wilayah tersebut masuk ke dalam yuridiksinya. Indonesia harus bersiap dengan segala kemungkinan yang ada dan akan lebih menguntungkan jika menyelesaikan masalah ini dengan cara diplomasi, mengingat wilayah laut Indonesia adalah yang paling sedikit terkena klaim China jika dibanding dengan negara ASEAN lainnya.

Facebook Comments
Written by Anta Nasution

Sarjana Perikanan yang sedang mengambil studi Pascasarjana tentang Kemaritiman. Berharap suatu saat nanti bisa menjadi Panglima Tertinggi Komando Armada Nelayan.