This is the default blog title

This is the default blog subtitle.

Krisis Rohingya: Kejahatan Kemanusiaan dan Respon Dunia

Krisis Rohingya: Kejahatan Kemanusiaan dan Respon Dunia

Kaum Rohingya semakin melarat. Seperti ituah kira-kira gambaran memprihatinkan mereka kala ditolak le negara yang meraka tinggali, di saat yang sama tak dibiarkan masuk ke negera tetangga. Status mereka benar-benar stateless.

Bebrapa bulan di awal tahun 2017 ribuan Rohingya berusaha menyelamatkan diri ke Bangladesh dari insurgensi yang dilakukan militer Myanmar di wilayah Barat Rakhine. Mereka mengatakan bahwa mereka mengalami kekerasan, pemerkosaanm pembunuhan dan pembakaan rumah. Namun Burma mengklaim hal tersebut tidak terjadi demikian. Pasukan itu mengklaim mereka melakukan kampanye untuk mengembalikan stabilitas di wilayah barat Myanmar.

Siapa Rohingya

Rohingya adalah salah satu dari banyak etnis minoritas Myanmar dan mengatakan mereka adalah keturunan dari pedagang Arab dan kelompok lain yang telah berada di wilayah ini selama beberapa generasi. Sekiatar abad 15 ribuan Muslim datang ke kerajaan Rakhine. Banyak yang datang pada abad kesembilan belas dan awal abad dua puluh, ketika Rakhine diperintah oleh pemerintah kolonial sebagai bagian dari India Britania. Sejak kemerdekaan pada tahun 1948, pemerintah berganti di Bumra hingga akhirnya berganti nama menjadi Myanmar pada tahun 1989.

Namun pemerintah Myanmar menyangkal mereka sebagai warga negara sebagai salah stau dari 135 kelompok etnis di negara itu dan melihat mereka sebagai imigran gelap dari Bangladesh – sebuah sikap umum di antara banyak orang Burma. Kebijakan-kebijakan diskriminatif dari pemerintah Myanmar sejak akhir tahun 1970-an telah memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya untuk meninggalkan rumah mereka dari negara yang mayoritas beragama Buddha.

Hingga saat ini, Sekitar satu juta Muslim Rohingya diperkirakan tinggal di negara bagian Rakhine Barat, di mana mereka adalah minoritas yang cukup besar. Pecahnya kekerasan komunal di sana pada tahun 2012 menyebabkan lebih dari 100.000 orang mengungsi, dan puluhan ribu Rohingya terpaksa tetap berada di kamp-kamp yang bobrok. Pergerakan mereka pun dibatasi. Dikutip dari Council of Foreign Relations, Rakhine adalah wilayah tidak berkembang dengan presentase kemiskinan 78 persen.

Status Hukum – Diskriminasi yang Terinstitusi

Pemerintah menolak memberikan kewarganegaraan Rohingya, dan sebagai akibatnya sebagian besar anggota kelompok tidak memiliki dokumen hukum, yang secara efektif membuat mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Ratusan ribu Rohingya yang tidak berdokumen sudah tinggal di Bangladesh, mereka telah melarikan diri ke sana selama beberapa dekade.

Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1948 Myanmar sudah dikesampingkan dan junta militer yang merebut kekuasaan pada tahun 1962, memperkenalkan Undang-Undang baru yang mana dua puluh tahun kemudian mencabut akses kewarganegaraan penuh Rohingya. Sampai saat ini, Rohingya telah dapat mendaftar sebagai penduduk sementara dengan kartu identitas yang dikenal sebagai kartu putih. Kartu tersebut mulai dikeluarkan Junta kepada Muslim tahun 1990an. Kartu putih hanya memberikan hak terbatas, tidak diakui sebagai bukti kewarganegaraan.

Pada tahun 2014 pemerintah mengadakan sensus nasional yang didukung PBB, yang pertama dalam tiga puluh tahun. Kelompok minoritas Muslim awalnya diizinkan untuk mengidentifikasikan diri sebagai Rohingya, tetapi setelah nasionalis Buddhis mengancam akan memboikot sensus, sebagai gantinya pemerintah memutuskan Rohingya hanya bisa mendaftar jika mereka diidentifikasi sebagai Bengali.

Demikian pula, di bawah tekanan dari nasionalis Buddhis yang memprotes hak Rohingya untuk memberikan suara dalam referendum konstitusi 2015, Presiden Thein Sein kemudian membatalkan kartu identitas sementara pada Februari 2015, yang secara efektif mencabut hak mereka untuk memilih. (Pemegang kartu putih diizinkan untuk memberikan suara dalam referendum konstitusi Myanmar tahun 2008 dan pemilihan umum 2010). Dalam pemilihan tahun 2015, yang secara luas dipuji oleh para pemantau internasional sebagai bebas dan adil, tidak ada kandidat parlemen yang beragama Islam. International Crisis Group mengungkapkan sentimen anti-Muslim di seluruh negara membuatnya sulit secara politik bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang mendukung hak-hak Muslim.

Pembersihan Etnis Rohingya

Bentrokan di Rakhine pecah pada Agustus 2017, setelah kelompok militan yang dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) mengklaim bertanggung jawab atas serangan terhadap polisi dan pos militer. Pemerintah menyatakan ARSA sebagai organisasi teroris dan militer meningkatkan kampanye brutal yang menghancurkan ratusan desa-desa Rohingya dan memaksa hampir tujuh ratus ribu orang Rohingya meninggalkan Myanmar.

Setidaknya 6.700 orang Rohingya tewas dalam serangan bulan pertama, antara 25 Agustus dan 24 September, menurut badan amal medis internasional Doctors Without Borders. Pasukan keamanan Myanmar juga diduga menembaki warga sipil yang melarikan diri dan menanam ranjau darat dekat penyeberangan perbatasan yang digunakan oleh Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh.

Sejak awal 2018, pemerintah Myanmar dilaporkan telah membersihkan desa-desa Rohingya yang ditinggalkan dan lahan pertanian untuk membangun rumah, pangkalan keamanan, dan infrastruktur. Pemerintah mengatakan perkembangan ini dalam persiapan untuk pemulangan pengungsi, tetapi aktivis HAM telah menyatakan keprihatinan bahwa langkah-langkah ini dapat dimaksudkan untuk mengakomodasi populasi lain di wilayah bagian Rakhine.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggambarkan kekerasan sebagai pembersihan etnis dan situasi kemanusiaan sebagai bencana. Kelompok-kelompok hak asasi manusia dan para pemimpin PBB lainnya mencurigai tindakan genosida telah terjadi. Pada pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB, Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley mengatakan, pihak berwenang Myanmar telah melakukan “kampanye brutal, berkelanjutan untuk membersihkan negara dari etnis minoritas,” dan dia meminta anggota untuk menangguhkan ketentuan senjata kepada militer. Sementara itu, anggota Dewan Keamanan lainnya, termasuk Rusia dan China, menolak meningkatkan tekanan yang terhadap pemerintah Myanmar karena mereka mengatakan berusaha memulihkan stabilitas.

Tindakan Aung San Suu Kyi

Sejak eksodus Rohingya yang dramatis dari Myanmar pada tahun 2015, partai politik pemenang Hadiah Nobel Perdamaian dan ikon demokrasi Aung San Suu Kyi telah mengambil alih kekuasaan dalam pemilihan bersejarah, yang pertama secara terbuka diperebutkan dalam 25 tahun.

Beberapa pengamat melihat pembentukan komisi penasihat tentang perselisihan etnis yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan pada bulan Agustus 2016 sebagai perkembangan positif. Namun, pecahnya kekerasan berikutnya telah menahan optimisme ini. Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, telah membantah bahwa pembersihan etnis sedang berlangsung dan menolak kritik internasional atas penanganan krisisnya, menuduh para pengkritik memicu kekesalan antara umat Buddha dan Muslim di negara itu. Pada bulan September 2017, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian itu mengatakan bahwa pemerintahnya telah “sudah mulai membela semua orang di Rakhine dengan cara terbaik.” Pada bulan Desember, pemerintah Myanmar menolak akses ke pelapor khusus PBB tentang hak asasi manusia di Myanmar, Yanghee Lee, dan menangguhkan kerjasama untuk sisa masa jabatannya.

Tidak ada banyak yang dapat diperbuat Su Kyi. Kegagalannya membela Rohingya sangat mengecewakan kata Tun Khin (Burmese Rohingya Organisation UK), yang selama bertahun-tahun mendukung aktivis demokrasi. Faktor kekuatan militer yang masih memegang kekuasaan besar dan mengendalikan kekuatan kementerian mungkin menjadi kendala, ironisnya Su Kyi kehilangan pengaruh di negaranya.

Situasi Kompleks Rohingya

Sebuah komite pemerintah Myanmar khusus yang ditunjuk untuk menyelidiki kekerasan yang sedang berlangsung di negara bagian Rakhine mengatakan dalam laporan sementara pada awal Januari bahwa sejauh ini mereka tidak menemukan bukti untuk mendukung klaim genosida terhadap Rohingya, atau untuk mendukung tuduhan perkosaan yang meluas. Laporan itu tidak menyebutkan klaim bahwa pasukan keamanan telah membunuh warga sipil. Para pengamat, bagaimanapun juga, tidak memiliki harapan tinggi akan penyelidikan yang kredibel atau independen dari komite, yang dipimpin oleh mantan Wakil Presiden dan mantan Presiden Myint Swe.

Sikap Negara Tetangga terhadap Krisis Rohingya

Negara-negara Asia Tenggara umumnya tidak saling mengkritik tentang urusan internal mereka. Ini adalah prinsip utama dari 10 anggota Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Namun situasi saat ini menunjukkan beberapa kritik keras dari tetangga, begitu protes. Polisi Indonesia bahkan mengatakan mereka telah menggagalkan rencana pemboman IS-linked yang menargetkan kedutaan Myanmar.

Pada 4 Desember, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mempertanyakan Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi, karena tidak bertindak. “Dunia tidak bisa duduk dan menyaksikan genosida berlangsung. Dunia tidak bisa hanya mengatakan ‘lihat, itu bukan masalah kita’. Ini adalah masalah kita,” katanya pada ribuan orang di sebuah unjuk rasa di Kuala Lumpur untuk mendukung Rohingya. Komentarnya mengikuti seruan dari menteri pemuda dan olah raga Malaysia, Khairy Jamaluddin, bagi ASEAN untuk meninjau kembali keanggotaan Myanmar atas kekerasan yang “tidak dapat diterima”. Beberapa orang mempertanyakan waktu komentar tersebut, mengingat Razak yang tidak populer sedang bersiap-siap untuk dipilih kembali. “Apa yang kami inginkan adalah pembicaraan dan tindakan untuk benar-benar membantu Rohingya, bukan hanya para menteri yang berpose untuk mendapatkan poin politik domestik,” kata Phil Robertson dari Human Rights Watch.

Di Bangladesh, yang berbatasan dengan negara bagian Rakhine, Amnesty International mengatakan ratusan Rohingya yang melarikan diri telah ditahan dan secara paksa kembali ke nasib yang tidak menentu sejak Oktober – praktik yang dikatakannya harus diakhiri. Bangladesh tidak mengakui Rohingya sebagai pengungsi.

Sikap ASEAN

Sebuah pertemuan para menteri luar negeri ASEAN untuk membahas krisis itu diadakan pada 19 Desember 2016 di ibukota Myanmar, Yangon, tetapi dicap sebagai “sebagian besar tindakan teater politik” oleh Asean Parliamentarians for Human Rights Grouping. Duta Besar Indonesia untuk London, Rizal Sukma, mengatakan kepada BBC pada bulan Desember bahwa pendekatan komprehensif diperlukan. Dia mengatakan penyelidikan dengan partisipasi regional harus diluncurkan dan bahwa negaranya siap untuk berpartisipasi jika komisi seperti itu akan dibentuk.

Sikap PBB

Pada awal tahun 2017  Kantor HAM PBB mengatakan untuk kedua kalinya di tahun tersebut bahwa pelanggaran yang diderita kaum Rohingya bisa menjadi kejahatan terhadap kenausiaan. PBB menyesalkan sikap pemerintah yang gagal bertindak atas rekomendasi yang diberikan

Mereka telah menyerukan penyelidikan atas tuduhan pelanggaran hak asasi baru-baru ini, serta untuk akses kemanusiaan yang akan diberikan. Badan pengungsi PBB mengatakan tetangga-tetangga Myanmar harus menjaga perbatasan mereka tetap terbuka jika Rohingya yang putus asa sekali lagi naik ke perahu reyot untuk mencari perlindungan di negara mereka, seperti yang terjadi pada awal 2015.

Juru bicara Vivian Tan mengatakan sekarang adalah saat yang tepat untuk membentuk gugus tugas regional yang telah diusulkan untuk mengoordinasikan tanggapan terhadap gerakan semacam itu. Secara terpisah, mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan sedang memimpin komisi penasihat lain yang sedang menyelidiki situasi umum di negara bagian Rakhine setelah diminta pada bulan Agustus oleh Suu Kyi.

 

Sumber: bbc.com/ cfr.org

Facebook Comments

About Renni N. S Gumay

Seorang akademisi yang memiliki minat dalam jurnalistik dan tertarik pada isu politik, keamanan, pertahanan dan kemanusiaan.