
Lantas apa saja tahap-tahap yang bisa membuat seseorang melakukan tindakan terorisme terhadap pihak tertentu dan diibaratkan sebagai 5 anak tangga oleh Moghaddam?
Perlu diingat lagi bahwa, sebagaimana telah disampaikan di bagian-1 dari tulisan ini, ketika seseorang naik tingkat, maka orang tersebut akan semakin agresif dan semakin mungkin melakukan tindakan terorisme.
Berikut adalah rangkuman saya dengan nama masing-masing tingkat sesuai yang diberikan oleh Moghaddam.
(1) “Ground Floor: Psychological Interpretations of Material Conditions”
Tahap ini merupakan prasayarat melakukan tindakan terorisme. Pada tahap ini muncul perasaan (subyektif) pada satu/sekelompok orang bahwa mereka telah mendapatkan perlakuan tidak adil di bawah suatu sistem.
(2) “First Floor: Perceived Options to Fight Unfair Treatment”
Orang-orang yang naik ke tahap ini adalah mereka yang melihat bahwa hanya ada sedikit atau malah sama sekali tidak ada jalan yang diakui di dalam sistem dimana mereka bisa menyuarakan ketidakpuasan atas ketidakadilan yang mereka terima ataupun memperbaiki ketidakadilan tersebut.
(3) “Second Floor: Displacement of Agression”
Mereka yang naik ke tingkat ini adalah mereka yang telah memiliki pandangan bahwa hanya ada sedikit atau malah satu pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas ketidakadilan yang mereka alami.
(4) “Third Floor: Moral Engagement”
Orang-orang yang naik ke tingkat ini adalah segelintir orang yang telah memandang pihak yang menyebabkan ketidakadilan yang mereka terima sebagai musuh nyata dan meyakini bahwa harus diambil suatu tindakan fisik terhadap musuh ini.
Ini tidak ubahnya seperti pandangan orang awam yang melihat bahwa pihak/negara luar yang menginvasi negara mereka dan menyebabkan kekacauan di dalam negeri sebagai musuh yang harus diperangi balik.
Moghaddam juga menyebutkan bahwa di tahap inilah biasanya repertoar tentang moralitas bergaung di kalangan teroris. Sementara pihak oposisi melihat para teroris tersebut sebagai orang-orang tidak bermoral (karena melakukan tindakan tidak manusiawi), para teroris justru melihat bahwa pihak musuhlah yang sebenarnya tidak bermoral.
Kezaliman-kezaliman yang dilakukan pihak musuh sentiasa disebut berulang-ulang di dalam lingkaran para teroris, disertai pesan bahwa tindakan memerangi musuh adalah tindakan yang harus dilakukan untuk mengembalikan segala sesuatu ke keteraturan yang seharusnya.
Di tahap ini pula, orang-orang yang telah direkrut oleh organisasi-organisasi teroris akan mulai diisolasi dan dibatasi interaksinya dengan dunia luar, untuk menjamin bahwa mereka memiliki idealisme yang sama seperti organisasi perekrutnya dan terjaga “kemurnian” idealismenya dari pengaruh-pengaruh luar.
(5) “Fourth Floor: Solidification of Categorical Thinking and the Perceived Legitimacy of the Terrorist Organization”
Moghaddam menyebutkan bahwa mereka yang sudah masuk ke tahap ini hanya memiliki kesempatan kecil sekali atau sudah tidak akan bisa lagi keluar hidup-hidup.
Mereka yang berada di sini sudah memiliki program-program pasti yang akan mereka jalankan untuk memerangi musuh. Untuk menjalankan program-program tersebut, akan dibentuk kelompok-kelompok kecil (disebut sel-sel teroris) yang terdiri dari 4-5 orang, dimana setiap orang memiliki peranan.
Pembagian menjadi kelompok-kelompok kecil ini lazim dilakukan oleh organisasi-organisasi teroris, agar bila satu sel teroris terbongkar oleh musuh, maka sebagian besar struktur dan agenda organisasi teroris tersebut tetap tidak dapat diketahui.
Moghaddam juga menyebutkan bahwa setiap sel teroris tersebut umumnya dipimpin oleh seorang yang karismatik dan akan memberikan perhatiannya kepada para anggotanya yang telah direkrut hingga tahap ini. Pada saat yang sama, mereka terus diisolasi dan mengalami indoktrinasi bahwa apa yang sedang dan akan mereka lakukan adalah untuk mencapai tujuan yang mulia.
(6) Fifth Floor: The Terrorist Act and Sidestepping of Inhibitory Mechanisms
Pada tahap ini dilakukan persiapan-persiapan final sebelum tindakan terorisme dilakukan.
Hal-hal yang dianggap sebagai penghalang, menurut Moghaddam, akan disingkirkan. Termasuk rasa kemanusiaan dan belas kasih terhadap warga sipil, bila warga sipil tersebut harus menjadi target mereka. Ditanamkan pemahaman bahwa warga sipil hanya bisa dianggap sebagai teman bila warga sipil tersebut mendukung organisasi teroris mereka.
Menurut Moghaddam pula, rasa belas kasih otomatis terpinggirkan melalui mekanisme dan alat-alat yang dipilih para teroris untuk melakukan aksi terorisme mereka.
Organisasi-organisasi teroris umumnya memilih alat-alat atau metode-metode yang akan menimbulkan kematian seketika, baik pada target maupun pelaku. Hal ini menyebabkan mereka yang telah direkrut untuk melakukan aksi terorisme tidak dapat menyaksikan ketakutan pada wajah calon korban, permohonan mereka agar mereka diijinkan hidup (seandainya mereka tahu akan menjadi korban), ataupun kesusahan dan kedukaan mendalam yang akan ditinggalkan pada keluarga para korban; yang mana bila kesemuanya itu dapat disaksikan oleh para pelaku teror maka sesungguhnya bisa menimbulkan rasa belas kasih pada diri pelaku teror dan menyebabkan mereka mengurungkan niatnya.
Moghaddam mengatakan bahwa rasa belas kasih sebenarnya merupakan bagian alami dari jiwa manusia sebagai binatang. Bahkan seekor serigala yang pada dasarnya bersifat agresif pun, dalam contoh yang diberikan Moghaddam, akan merasakan iba dan mengijinkan serigala yang menjadi lawannya untuk pergi, bila setelah lawan tanding serigala yang menjadi lawan tersebut menderita luka hebat dan memberikan tanda-tanda bahwa ia mengaku kalah.
Untuk menutup teorinya, Moghaddam menyampaikan bahwa memburu para teroris dan menghancurkan organisasi mereka sebenarnya tidak akan pernah bisa mengakhiri terorisme. Karena terorisme dilahirkan melalui berbagai keadaan yang telah disebutkan, maka langkah terbaik untuk mengakhiri terorisme, menurut Moghaddam, adalah dengan merubah/memperbaiki keadaan-keadaan tersebut.
Selain memperbaiki ketidakadilan yang dapat dirasakan sebagian kalangan masyarakat, pemerintah, Moghaddam menyontohkan, harus memberi kesempatan kepada semua pihak untuk menyampaikan ketidakpuasannya dan turut serta memperbaiki keadaan yang ada.
Bila pihak yang merasa tidak mendapat ketidakadilan tersebut telah berubah menjadi organisasi teroris, maka, Moghaddam mengutarakan, bukanlah tidak mungkin untuk mengajak mereka berdialog dan ikut serta memperbaiki kondisi yang ada dengan mengasimilasi mereka ke dalam politik secara perlahan. Hal ini telah terjadi pada IRA (organisasi pemberontak di Irlandia Utara) (dan juga GAM, menurut hemat penulis).
Pada akhirnya, dalam perspektif Moghaddam, adalah lebih baik untuk mencegah kemunculan suatu penyakit daripada hanya terus menerus berusaha mengatasi gejalanya.
(Selesai)
Ditulis oleh : M. Arief W. adalah seorang arsitek. Minatnya yang lain adalah kosmologi, antropologi, linguistik, arkeologi dan geopolitik. Ia adalah pendiri komunitas budaya Jayatara dan menjelajahi serta mendokumentasikan berbagai tempat budaya dan sejarah di dalam dan luar negeri secara aktif. Karya dan pemikirannya bisa dilihat di www.arief.co.nr.