
*Nama beberapa orang di cerita ini sengaja diganti demi alasan tertentu.
“Luna, liputan lo kenapa begitu? Ada masalah apa sebenernya? Apa sih yang lo harepin di program ini?” Pertanyaan demi pertanyaan memburuku. Rian, bosku, seorang assistant producer, menatapku dengan tatapan kecewa.
Aku terdiam. Apa yang harus aku katakan? Pertanyaannya seperti tidak membutuhkan jawaban. “Ya udah, gue kasih kesempatan lagi. Bulan depan kita ke Kalimantan Selatan. Coba lo cari tahu tentang desa ini.” Lanjut Rian sambil menunjuk ke layar computer. “Gue udah kasih lo risetan. Lo kembangin lagi. Masih ada waktu sebulan. Jangan bikin gue kecewa lagi. Banyak orang yang ngeremehin lo masuk program ini. Banyak dari mereka yang bilang lo nggak bisa. Sekarang, cuma lo sendiri yang bisa buktiin ke mereka kalo mereka itu salah.”
Aku mengangguk. Rian pun pergi meninggalkanku. Aku menghela napas panjang. Sudah hampir setengah tahun aku berada di program Tanah Airku ini. Salah satu program televisi yang menjadi idola setiap reporter dan camera person di tempatku bekerja. Aku? Aku hanya mengagumi, tapi tidak pernah berpikir untuk menjadi reporter di program ini. Aku tahu kemampuanku. Program ini membutuhkan otak yang cerdas. Bagiku dengan otak pas-pasan, program ini terlalu berat. Karena aku harus banyak mengetahui tentang politik. Sedangkan aku sama sekali tidak mengerti dan tidak mau tahu tentang politik. Karena bagiku, politik terlalu munafik. Penuh kepalsuan.
Tapi aku tidak bisa memilih program apa yang aku inginkan. Semua tergantung atasan. Merekalah yang mempunyai wewenang menempatkan karyawannya. Aku sebagai anak bawang, hanya bisa pasrah. Awalnya aku berada di program feature yang liputannya tentang hiburan di sekitar perkotaan. Entah itu hal unik, maupun kuliner. Sedangkan program Tanah Airku ini adalah program dengan durasi setengah jam yang biasanya meliput tentang daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia. Tidak lupa dengan benang merah yang disangkutkan dengan keadilan dan peran serta pemerintah.
***
Hari itu datang – keberangkatan kami. Aku, Rian, dan Dion, camera person-ku, duduk bersebelahan di dalam pesawat. Dengan hati was was, aku terbang ke Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Kenapa aku was was? Sebenarnya ini adalah perjalanan kelima-ku di program ini. Tapi entah kenapa atasanku selalu merasa bahwa aku belum bisa dilepas.
Di pesawat aku tidak banyak bicara. Hanya diam menatap lautan awan di luar jendela. Setelah hampir 3 jam perjalanan, kami pun sampai. Udara panas langsung menyambut kulitku ketika aku keluar bandara Syamsudinnoor. Disana sudah ada seorang driver yang biasa disewa senior untuk liputan. Ah, driver sebutan yang terlalu kasar. Aku biasa memanggilnya pilot. Terdengar lebih keren, bukan? Pilot Kalsel itu bernama Jani.
Rian dan Dion sudah beberapa kali liputan di Kalsel, tidak heran mereka langsung akrab dengan Jani. Aku hanya bisa cengar-cengir mendengarkan celotehan mereka. Nasib anak baru yang tidak terlalu baru. Aku sebenarnya sudah hampir tiga tahun di stasiun televisi ini. Sistem rolling program-nya saja yang membuat aku bagai anak baru.
Hari itu, kami langsung menempuh perjalanan selama enam jam ke Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Tujuan kami hari itu adalah rumah seorang fixer bernama Rudy. Fixer adalah seseorang yang bertugas membantu proses peliputan. Keberadaan fixer sangat membantu terutama untuk survey langsung ke daerah yang tidak terjamah. Rudy merupakan warga setempat yang sering bolak balik ke desa yang aku tuju. Kadang dia menjadi guide untuk turis yang ingin hiking kesana.
Saat bertemu Rudy, aku pun langsung meminta dia mengantarkan ke rumah sekretaris desa yang akan ikut liputan besok pagi. Kebetulan, sekretaris desa yang bernama Rusdi, tinggal di dekat rumah Rudy. Dia mempunyai dua rumah. Satu di bawah sini, satu di atas – di desa yang kami tuju.
Setelah memastikan permintaanku aman, kami pun kembali ke rumah Rudy. Malam itu, aku, Rian, Dion, dan Jani bermalam di rumahnya. Rumah panggung yang terbuat dari kayu itu cukup besar. Tapi hanya ada 2 kamar tidur. Atau 3 kamar? Aku lupa. Yang jelas, malam itu kami tidur bak ikan teri di ruang tamu. Karena terbiasa dengan perjalanan seperti ini, masing-masing dari kami membawa sleeping bag. Cuaca disana dingin. Karena berada di kaki gunung.
***
Pagi menyambut. Masih dini hari sekitar pukul 5 pagi. Tapi aku, Rian, Dion, Jani, dan Rudy telah bersiap untuk liputan. Tujuan kami kali ini adalah pasar mingguan yang berada tidak jauh dari sini. Alur liputan memang dimulai dari pasar. Setiap minggu, di Desa Hinas Kiri, para penjual dari berbagai desa dan kecamatan berkumpul menjajakan jualannya. Disinilah, biasanya warga dari desa tujuanku datang untuk membeli kebutuhan sehari-hari selama di atas sana.
Kemarin aku sudah membuat janji untuk bertemu dan meliput kegiatan warga berbelanja. Setelah melakukan shooting selama lebih dari satu jam di pasar, kami pun beranjak kembali ke rumah Rudy untuk sarapan.
Setelah sarapan, sekitar enam orang warga telah berkumpul di pekarangan rumah. Mereka sudah siap dengan tas tradisional yang terbuat dari kayu, dengan karung sebagai wadah barangnya. Kamera yang dioperasikan Dion terus merekam kegiatan persiapan kami. Rian juga turut membawa kamera. membantu Dion merekam dari angle yang berbeda.
Tidak lama kemudian, kami semua berangkat. Tidak ada wanita dalam rombongan ini. Hanya aku sendiri. Kami berencana menginap di atas selama 3 hari kedepan. Karena kami akan menggarap sekaligus dua episode disana. Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan dengan tekanan ini. Aku tidak takut akan fisikku mendaki gunung maupun tinggal di daerah terpencil. Aku hanya takut tekanan mental yang harus aku hadapi selama beberapa hari ke depan.
Awal perjalanan, kami menapaki jalan setapak dengan medan aspal. Terdapat jejak roda motor. Ini pasti roda motor para petani yang setiap hari bolak balik ke sawahnya. Benar saja, tidak jauh di depan, kami sampai di lahan persawahan dengan padi yang masih hijau karena baru ditanam. Karena jalan terus menanjak, Rian meminta untuk istirahat.
Kami pun duduk di pinggir jembatan gantung sambil menikmati pisang yang dibawa oleh salah satu warga. Sungguh nikmat! Beberapa menit kemudian, kami melanjutkan perjalanan.
Selepas lahan persawahan tadi, jalur sudah berupa hutan rimba. Medan jalannya pun terus menanjak tanpa ampun. Sebelum kesini, aku sempat mendaki gunung Semeru. Menurutku, jalur ini bahkan lebih parah dari tanjakan cinta disana. Disini, jalan setapak terpampang seadanya. Menandakan sangat jarang dilewati manusia. Memang, yang biasa lewat sini hanyalah warga sekitar, dan beberapa pendaki. Tapi jumlahnya tidak sebanyak pendaki di gunung yang sudah terkenal namanya.
Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan seorang wanita yang sedang duduk di tanah dengan anaknya. Aku terkejut dan langsung menyapa.
“Mbak, mau kemana?”
“Ke desa di atas, mbak.” Jawabnya.
“Loh bareng dong?”
“Iya, aku emang nunggu suamiku. Tuh dia.” Suaminya ternyata adalah salah satu warga yang ikut bersamaku sejak dari rumah Rudy tadi. Karena persiapan kami lama, dia pun pergi kesini duluan. Setelah melintasi jalur yang masih aman, dia pun berhenti, menunggu suaminya. Selepas dari sini, hutan akan semakin lebat.
***
Aku menganga memperhatikan sekitar. Pemandangan ini benar-benar menakjubkan. Ratusan, bahkan ribuan pohon raksasa berjajar dan membentang di kiri dan kananku. Pohon-pohon ini tingginya bisa puluhan meter. Sedangkan lebarnya bisa lima kali pelukan laki-laki dewasa. Di beberapa batang pohon, aku bisa melihat ular kaki seribu raksasa. Aku bergidik melihatnya. Itu adalah kaki seribu terbesar yang pernah aku lihat sepanjang hidupku. Yang biasa aku lihat hanya sebesar jari telunjuk di Jakarta. Tapi disini, mungkin hampir selengan. Semoga dia tidak jatuh tepat di atas kepalaku.
Sebelum aku berangkat, beberapa orang bilang bahwa hutan Kalimantan sangat lebat. Awalnya aku tidak percaya. Namanya hutan, ya pasti lebat, banyak pohon. Tapi saat melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku pun mengerti. Memang sama-sama hutan. Tapi hutan Kalimantan jauh berbeda dengan hutan di gunung yang pernah aku daki sebelumnya.
Pernah menonton film Jurrasic World atau Kong: Skull Island atau sejenisnya? Kira-kira seperti itulah gambaran hutan Kalimantan. Sungguh menakjubkan.
“Kita berhenti disini dulu. Istirahat makan siang.” Ucap Rudy saat kami sampai di lapak yang cukup terbuka. Disana ada sebuah gubuk kecil. Kami pun melipir ke gubuk untuk duduk. Rudy dengan sigap membuka makanan yang sengaja kami bungkus untuk makan siang.
Aku paling suka makan nasi bungkus di alam bebas seperti ini. Dalam keadaan lapar, ditemani rekan-rekan, nasi terasa lebih nikmat. Ya, walaupun dengan beban liputan dalam benak. Setelah makan, beberapa warga berjalan ke balik semak-semak sambil membawa botol kosong.
“Mau kemana, bang?” Tanyaku ke Rudy.
“Mau isi air dulu. Sumber airnya disini aja. Nanti nggak ada lagi sampe di pondok. Mau ikut?”
“Jauh nggak?”
“Ya, lumayan. Agak turun jalannya.” Aku tersenyum sambil menggeleng. Aku malas sekali. Biarlah itu menjadi tugas akamsi alias anak kampung sini.
Hampir setengah jam kemudian, Rudy dan yang lain datang dengan botol berisi penuh dengan air. Kami pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Dengan agak sok tahu, aku berjalan duluan ke depan.
“Mbak, bukan itu jalannya.” Ucap Rudy menghentikan langkahku.
Aku menoleh. “Loh, aku kira ini jalannya. Habis ada jalurnya gitu.”
“Itu jalur ke puncak gunung Halau-Halau. Yang biasa di daki turis.”
“Wah ada gunung juga disini? Jauh nggak?”
“Kalo dari sini masih agak jauh. Tapi nggak sejauh tujuan kita. Nanti kapan-kapan kalo kesini, coba ke Halau-Halau, Mbak.” Aku mengangguk kencang. Suatu hari…
Gunung Halau-Halau memang tidak terkenal seperti gunung di daerah Jawa. Jarak kesana mungkin seperti ke puncak gunung Agung di Bali. Tidak butuh berkemah di jalan. Puncaknya bisa ditempuh dalam beberapa jam. Jika ingin menikmati sunrise, bisa naik tengah malam sekitar jam 12 atau jam 1. Tapi tentunya harus dipandu oleh warga lokal. Karena jalurnya cukup membingungkan. Gunungnya memang tidak terlalu tinggi. Hanya 1900 meter di atas permukaan laut. Tapi jalurnya… ya, seperti yang aku ceritakan. Terus menanjak terjal. Satu fakta menarik, yang biasa kesana ternyata adalah turis mancanegara.
Setelah memendam rasa penasaranku tentang gunung Halau-Halau, aku pun berjalan mengikuti Rudy. Ternyata jalur ke desa tujuan tersembunyi di balik semak. Jika tidak biasa kesana, orang tidak akan menyadari jalan ini.
Mulai dari sini, jalur semakin tidak manusiawi. Hutan tropis Kalimantan berhasil menyelimuti langit-langit di atas kepala kami. Matahari hanya sesekali menyembul di balik dedaunan. Hutan ini lembab, tanahnya agak licin, jalannya hanya sepetak. Benar-benar rimba. Semakin dalam, pohonnya semakin rapat dan semakin besar. Entah sudah berapa kali kami berhenti untuk mengatur napas sejenak.
Di tengah perjalanan, aku yang sedang keletihan dikagetkan dengan seekor makhluk kecil di telapak tangan kiriku. Sejenak aku memperhatikannya. Kemudian secara refleks aku berteriak kecil dan berusaha menggoyang telapak tangan agar makhluk itu lepas. Tapi sekeras apa pun goncangan tanganku, makhluk itu tidak mau pergi. Rudy yang berada di belakangku langsung meraih tanganku dan berkata, “Oh, pacet.” Dia pun dengan sigap melepasnya dengan ujung jari.
Itulah kali pertama aku melihat makhluk bernama pacet. Sungguh menggelikan! Bentuknya seperti korek api kayu – kecil dan berwarna hitam. Tapi jika sudah menghisap darah, tubuhnya akan menggelembung seperti lintah. Ya, dia memang sejenis lintah, tapi habitatnya di dedaunan. Ada miliaran pacet disini. Setiap jengkal, ada saja salah satu rombongan kami yang ditempeli pacet. Tapi karena mereka sudah biasa, jadi mereka tidak peduli. Sedangkan mataku, Rian, Dion, dan Jani, terus awas menatap sekitar sambil terus memperhatikan bagian tubuh kami. Takut makhluk itu tiba-tiba menempel. Tidak apa jika mau menempel, asal tidak terlihat oleh mataku. Silakan hisap darahku, asal jangan menampakkan diri. Pacet memang akan melepaskan dirinya sendiri jika sudah merasa kenyang. Itu lebih baik daripada harus melepasnya dengan paksa. Selain darah akan terus mengucur, sangat menggelikan untuk melihat tubuhnya yang liat itu. Hiii…!!!
***
“AAAWWW!!!” Tiba-tiba ada teriakan di belakangku. Aku menoleh. Rombonganku langsung merapat, aku pun ikut merapat,
“Kenapa, Mas Dion?” Tanya Rudy. Yang ditanya hanya bisa menunjuk kakinya yang sepertinya sakit. “Kepeleset, ya?” Dion mengangguk sambil terus meringis.
Sekretaris desa dengan sigap berusaha mengurut kaki Dion. Tentu saja Dion terus berteriak. Sepertinya cederanya cukup parah. Rian yang sejak awal perjalanan memang membawa kamera, terus merekam setiap kejadian.
“Luna, PTC!” Seru Rian sambil membidik kameranya ke arahku. PTC adalah Piece To Camera atau yang berarti berbicara kepada kamera. Aku seketika bingung harus bicara apa. Aku tidak pernah menyukai PTC. Aku selalu bingung saat harus merangkai kata dan menyuarakannya ke depan kamera. Di programku sebelumnya aku hanya reporter di balik layar, jadi tidak harus melakukan PTC. Jadi aku tidak pernah terlatih untuk melakukannya selama lebih dari satu tahun. Tapi di program ini PTC adalah kewajiban.
“Luna! Cepat!” Seru Rian membuyarkan lamunanku. “Bilang aja salah satu kru kami mengalami cidera dan tidak tahu apakah kami bisa melanjutkan perjalanan atau tidak. Saat ini salah satu rombongan kami sedang berusaha membantu. Begitu, cepat!”
Aku pun mengikuti saran Rian. Tapi tentu saja tidak selancar atasanku itu. Aku butuh retake sebanyak tiga kali. Disitu aku merasa sangat bodoh. Dalam keadaan seperti ini, spontanitas tentu saja sangat dibutuhkan. Jika tidak lancar PTC-nya, tentu saja akan kehilangan momen. Untungnya, Dion terus kesakitan selama beberapa menit setelah aku selesai PTC.
“Aduh, gue nggak sanggup ambil gambar nih, Yan.” Ucap Dion ke Rian.
“Nggak apa-apa, Yon. Sementara, gue aja yang ambil gambar. Tapi maaf-maaf nih kalo gambarnya agak kacau.” Jawab Rian sambil menepuk bahu Dion.
“Nggak masalah, Yan. Katanya tinggal dikit lagi kita sampe di pondok. Tadi gambar di jalan udah lumayan banyak. Paling butuh sedikit gambar gelap aja buat nandain kalo perjalanan kita emang seharian, dan pas sampe pondok butuh gambar kita sampe di pondok. Makasih ya.” Setelah mendapatkan sedikit penjelasan dari Dion, kami pun melanjutkan perjalanan.
Dion berjalan dengan dua tongkat kayu sebagai pengganti kaki kirinya yang sakit. Fungsi kayu itu seperti trekking pole, hanya saja, kayu itu baru saja di tebang oleh Rudy dengan goloknya yang sangat tajam.
Hari semakin gelap. Sinar matahari sudah hampir hilang digantikan cahaya bulan. Aku berjalan di depan dengan salah satu warga yang aku panggil Kai – sebutan khas Kalimantan untuk seorang lelaki tua, atau bahasa Indonesianya kakek. Saat aku sedang konsentrasi berjalan, Kai tiba-tiba melipir. Dia membungkukkan badannya yang kurus dan kecil ke bawah batang pohon yang melintang secara horizontal.
“Cari apa, Kai?” Tanyaku bingung.
“Cari makan malam.”
“Makan malam?” Aku memajukan kepalaku, berusaha mencari apa yang sedang dia ambil. Tangan ringkihnya dengan cepat memetik jamur yang menempel di batang pohon yang sudah mati. “Emang itu bisa dimakan, Kai?” Tanyaku penasaran.
“Iya, enak jamur ini.” Jawab Kai sambil terus memetik. Aku pun akhirnya membantu Kai.
“Ini jamur apa namanya, Kai?”
“Ya jamur aja. Untuk makan.”
“Tapi biasanya orang sini nyebut jamur ini jamur apa?”
“Ya jamur. Biasa untuk dimakan.”
Aduh, Kai!!! Aku akhirnya terdiam. Bingung harus bicara apa. Daripada tidak nyambung.
Rian tiba-tiba muncul di belakangku sambil menyorotkan kameranya. “PTC, Lun. Bilang lo lagi ngapain. Buat apa ngambil jamur itu.”
Aku terkejut. Kenapa dia tiba-tiba muncul dan langsung memintaku PTC. Tapi apa boleh buat. Aku menghembuskan napas dan melaksanakan perintahnya.
Jamur yang kami ambil cukup banyak dan seakan mengerti bahwa kami sudah aman, matahari sempurna tenggelam di balik bukit sana. Headlamp yang kami bawa satu per satu menyala, menerangi kegelapan hutan Kalimantan. Kami melanjutkan perjalanan dalam diam. Ditemani suara jangkrik dan binatang hutan yang entah namanya apa.
***
Sekitar pukul 8 malam, kami tiba di sebuah pondok. Ini berarti, kami sudah setengah perjalanan. Pondok ini merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Keadaannya setengah terbuka. Hanya ada atap seng, dan dinding yang tidak sampai menyentuh langit-langit pondok. Seperti balai yang ada di tempat wisata kebanyakan. Walaupun seadanya, tapi hasil gotong royong warga pada tahun 2014 ini sangat membantu memberikan perlindungan bagi 15 orang di rombongan kami.
Saat semuanya menyelonjorkan kaki di atas lantai kayu pondok, aku sibuk mencari titik aman untuk buang air kecil. Aku sudah menahannya sejak sekitar 2 jam lalu. aku berkeliling pondok, tapi tidak ada tanah lapang. Semua diisi dengan rumput setinggi lututku. Bisa saja aku berjalan agak jauh dari pondok, tapi aku tidak berani. Aku juga tidak enak jika harus minta Isnah untuk menemani.
Akhirnya aku memilih tanah agak terbuka yang membentuk lingkaran kecil di sebelah bawah pondok. Dengan segera aku melepas kancing celana dan berjongkok. Ketika air seni sudah berada di ujung tanduk, headlamp-ku menangkap sesuatu yang bergerak. Sesuatu sebesar korek api kayu yang berwarna hitam. Pacet! Dia sedang meliuk-liuk di atas daun, bersiap lompat ke arahku. Mataku membesar dan tanpa ba bi bu, aku kembali mengenakan celana. Aku berlari ke atas pondok sambil berteriak kecil.
“Kenapa, Mbak?” Tanya Isnah yang sedang memotong bawang.
Setelah mengatur napas, aku menjawab. “Itu… ada pacet. Padahal aku mau pipis.”
“Yah disini mah banyak pacetnya, Mbak. Susah kalo mau cari tempat yang nggak ada pacetnya. Nanti aja pipisnya tunggu yang lain tidur.”
Aku mengangguk. Daripada aku harus berhadapan dengan makhluk hitam penghisap darah itu, lebih baik aku menahan hasrat buang air kecil ini lagi. Demi melupakan kejadian barusan, aku ikut membantu Isnah menyiapkan makanan.
Rudy terlihat sibuk menyiapkan api unggun di tengah pondok. Di tengah pondok? Ya, di tengah rumah panggung ini, ada ruang untuk membuat api unggun. Kayu di tengah ruangan sengaja dibuat berlubang, agar pengunjung yang mampir kesini bisa memasak atau sekedar membuat minuman hangat.
Sekdes sibuk menyiapkan peralatan makan. Malam ini lauk kami adalah jamur yang tadi Kai petik. Ada juga rebung yang diambil Rudy saat perjalanan. Aku bahkan tidak melihat Rudy mengambilnya. Benar-benar mengagumkan. Warga lokal selalu tahu apa yang bisa dimakan di dalam hutan.
Cara memasak jamurnya sangat sederhana. Seperti saat memasak nasi goreng. Hanya butuh bawang merah, bawang putih, cabai, dan garam, kami sudah bisa menumisnya di penggorengan di atas api unggun yang dibuat Rudy.
Saat dimasak, jamur-jamur ini mengecil dan menciut. Aroma sedap yang dikeluarkan membuat perutku terus memanggil untuk diisi. Ketika warna jamur sudah berubah agak kecokelatan, Isnah pun menuangkannya ke atas piring. Makan malam di tengah cuaca dingin tidak lengkap jika tidak dengan kuah. Rebungnya kami buat menjadi sayur.
Setelah semua siap, kami pun membentuk lingkaran dan langsung menyantap tumis jamur dan sayur rebung. Karena lauknya sedikit, masing-masing dari kami tahu diri dengan hanya mengambil seadanya. Yang penting bisa menemani nasi yang rasanya hambar.
Suapan demi suapan masuk ke mulutku. Perut yang kosong dan dingin pun menjadi hangat terkena asupan. Remang-remang cahaya dari api unggun menemani makan malam kami. Meskipun seadanya, tapi makanan ini adalah yang ternikmat yang pernah aku rasakan. Momen ini tentunya terus diabadikan oleh Rian dan Dion yang sudah agak baikan kakinya. Setelah mengambil gambar, mereka juga ikut merasakan nikmatnya makanan hutan ini.
Setelah makan, masing-masing dari kami menyiapkan tempat tidur. Aku, Rian, Dion, dan Jani, menggelar sleeping bag. Rudy memasang hammock di antara tiang pondok. Sedangkan yang lain hanya beralaskan terpal dan berselimutkan sarung atau karung. Aku bergidik melihatnya. Membayangkan aku tidur dengan cara seperti itu membuatku menggigil kedinginan.
Isnah tidur di depanku dengan anaknya. Dia pun hanya beralaskan kain dan berselimutkan jaket – yang tentu saja tidak menutupi seluruh bagian tubuhnya dan anaknya. Aku pun memberikan sarung dan jaketku padanya. Berharap bisa membantu. Dengan senyum dia mengucap terima kasih.
Kami semua tertidur pulas. Ah, tapi aku belum bisa tidur. Aku menunggu beberapa menit hingga semuanya terlelap. Kemudian aku mengendap berjalan ke ujung pondok. Aku mengarahkan bokongku ke luar dan air seni langsung mengucur deras ke bawa pondok. Pacet tidak akan bisa naik ke atas sini. Aku tersenyum lega dan kembali masuk ke dalam sleeping bag. Tapi aku kurang beruntung karena Rian dan Dion yang tidur di kiri dan kananku mengorok sepanjang malam.
Bersambung…