
Layaknya sebuah roda, tidak selamanya VOC berada di atas. Memasuki akhir abad ke-18, VOC terjerat hutang hingga 136,7 juta gulden akibat korupsi yang merajalela. Kini, korupsi masih menjadi momok di Indonesia. Akankah Indonesia memiliki nasib yang sama?
20 Maret 1620 menjadi hari penting di Amsterdam kala itu. Dewan Perwakilan Belanda (Staten General) yang terdiri dari perwakilan Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, Delft, dan Middleburg (Zeeland) mengadakan perundingan yang akhirnya menyepakati berdirinya Persatuan Umum Persekutuan Dagang Hindia Belanda (Generale Verenigde Geoctroyeerde Oost Indische Compagnie) yang lebih dikenal dengan VOC.
Perusahaan Multinasional pertama di Nusantara ini diwakili oleh sistem majelis untuk masing-masing dari enam wilayah yang memiliki direktur berjumlah 17 orang yang disebut dengan Heeren XVII. Pada perkembangannya, VOC berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku dan mengakuisisi Jayakarta hingga mengubahnya menjadi Batavia serta mengalahkan EIC, persekutuaan dagang milik Inggris dalam hal monopoli hasil rempah-rempah.
VOC pun diberikan keleluasaan oleh pemerintah Belanda untuk mengadakan perjanjian dengan negara lain tanpa melalui persetujuan Raja/Ratu Belanda, membuat dan mengedarkan uang sendiri, memiliki angkatan laut serta angkatan darat sendiri yang dapat bertindak tanpa harus tunduk kepada kerajaan Belanda, dan menyatakan perang dengan negara atau kerajaan lain tanpa harus meminta persetujuan dengan Raja/Ratu Belanda.
Seperti sebuah perusahaan negara, VOC dipimpin oleh seorang CEO yang disebut sebagai Gubernur Jenderal. Mulai dari Pieter Both hingga Pieter Gerardus van Overstraten pernah merasakan manisnya memonopoli rempah-rempah Nusantara. Tidak hanya itu, VOC berhasil memiliki 140 kapal dan 25000 pegawai. Namun, layaknya sebuah roda, tidak selamanya VOC berada di atas. Memasuki akhir abad ke-18, VOC terjerat hutang hingga 136,7 juta gulden akibat korupsi yang merajalela. VOC akhirnya dinyatakan bangkrut pada pada usia 197 tahun, tepatnya pada 31 Desember 1799 dan asetnya diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Jika dikaitkan dengan Indonesia, apa yang dialami oleh VOC dapat terjadi di negara yang saat ini sudah memasuki usia 73 tahun. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini rata-rata mencapai 5% setelah sebelumnya pernah mendekati presentase 10% pada masa Orde Baru. Namun, tingkat korupsi yang masih tinggi di Indonesia membuat negara ini riskan mengalami kebangkrutan layaknya VOC pada abad 18. Menurut data Corruption Perception Index tahun 2016,Indonesia memeroleh peringkat 88 dengan skor 34, dan masih dibawah rata-rata skor persepsi dunia menyangkut korupsi, yakni 43. Indonesia juga masih kalah dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Meskipun sudah mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, namun maraknya korupsi yang dilakukan oleh lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif membuat Indonesia masih masuk kategori mengkhawatirkan. Sudah selayaknya seluruh elemen elit politik dan birokrat yang ada di negeri ini berkaca tanpa menyudutkan siapa yang patut disalahkan dan siapa guru yang mengajarkan korupsi.
Melalui momentum Hari Anti Korupsi ini, hendaknya kita semua sadar: membiarkan korupsi merajalela hingga negara ini bangkrut seperti halnya VOC atau memperkuat kedudukan Komisi Pemberantas Korupsi dan mendukung akuntabilitas publik demi memerangi bahaya laten bernama korupsi. Kalau terus dibiarkan, korupsi akan terus menggerogoti layaknya penyakit menular dan peringatan hari anti korupsi hanya sekedar simbol tanpa makna.
Ditulis Oleh : Usman Manor – Alumni Sejarah UI