
RuangRakyat — Situasi genting serangan senjata kimia di Suriah yang menewasakan setidaknya 70 korban jiwa membuat Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council) mengadakan pertemuan darurat pada 6 April 2017 waktu New York.
Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat mempresentasikan rancangan resolusi (draft resolution) menuntut dilakukanya penyelidikan penuh atas serangan Provinsi Idlib yang dikuasai pemberontak, namun Rusia membalas sekutunya di Damaskus dan mengatakan bahwa teks resolusi tersebut “secara kategori tidak dapat diterima”.
Mereka menyerukan penyelidikan penuh oleh Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (Organisation of the Prohibition of Chemical Weapons/OPCW) dari serangan pada dini hari Selasa di kota Khan Sheikhoun. Jika dikonfirmasi, serangan tersebut akan jadi salah satu serangan terburuk senjata kimia yang digunkaan di Suriah secara brutal terhdap kemanusiaan, ksusunya masyarakat sipil.
Rancangan tersebut mengusulkan agar panel investigasi bersama UN-OPCW mulai segera bekerja untuk mengidentifikasi pelaku serangan mengingat waktu semakin terbuang di meja perdebatan.
Teks ini juga menyerukan Suriah untuk memberikan data penerbangan, dan informasi lainnya pada operasi militer pada hari penyerangan. Selain itu, Damaskus akan diminta untuk memberikan nama semua komandan skuadron helikopter ke penyelidik PBB dan memungkinkan mereka untuk bertemu dengan jenderal dan pejabat tinggi lainnya dalam waktu lima hari dari pengajuan. Suriah juga harus mengizinkan PBB dan tim OPCW untuk mengunjungi pangkalan udara dari mana serangan yang melibatkan senjata kimia kemungkinan diluncurkan.
Perdebatan menjelang sesi darurat pada hari rabu. Juru bicara kementerian luar negeri Rusia mengatakan rancangan resolusi itu “anti-Suriah”, hasil penyelidikan itu hanya akan menunjukan posisi bersalah di pihak pemerintah.
Sebelumnya, Moscow yang meluncurkan intervensi militer tahun 2015 dalam mendukung kubu Bashar al-Assad membela Damaskus terhadap tuduhan bertanggung jawab atas serangan senjata kimia tersebut dengan mengatakan bahwa insiden gas beracun disebabkan ketika sebuah serangan udara Suriah mengenai “gudang teroris” yang digunakan untuk membuat bom yang mengandung “zat beracun”. Tentara Suriah telah membantah penggunaan senjata kimia, mengatakan “tidak pernah menggunakan mereka, kapan pun, di mana saja, dan tidak akan melakukannya di masa depan” (Aljazeera, 6/4).
Perwakilan tetap Suriah untuk PBB Munzer Munzer menolak apa yang disebut “pemalsuan fakta-fakta” di Khan Sheikhoun, ia menambahkan bahwa “kelompok teroris” telah memperoleh akses “bahan kimia beracun” dengan bantuan pemerintah Turki.
Duta Besar Prancis untuk PBB Francois Delattre membantah argumen yang dibuat oleh Rusia dan pemerintah Suriah. “Tidak ada api, meskipun serangan seperti kepada gudang bahan kimia akan menyebabkan kebakaran, dan konsekuensi akan jauh lebih serius bagi penduduk sipil,” katanya. Ia juga menggambarkan serangan itu sebagai “horor kimia.” “Kami berharap rancangan resolusi ini dapat menyatukan masyarakat internasional dalam menolak apa yang tidak dapat diterima,” katanya.
Sementara itu, Matthew Rycroft, wakil tetap Inggris, mengatakan PBB telah “melihat konsekuensi” dari veto sebelumnya oleh Rusia dan Cina yang hanya berdampak pada dorongan rezim Assad untuk terus melakukan serangan terhadap rakyatnya sendiri.
Di sisi lain, Sekjen PBB Antonio Guterres, Rabu mengatakan “peristiwa mengerikan” menunjukkan bahwa “kejahatan perang terjadi di Suriah”.
Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengatakan: “Berapa banyak lagi anak-anak harus mati sebelum Rusia yang peduli?” Haley mengisyaratkan bahwa dalam situasi kegagalan PBB untuk mencegah serangan tersebut, negara-negara tertentu dapat “dipaksa untuk bertindak” menurut kehendak mereka sendiri. Pertemuan Dewan Keamanan ditunda tanpa prosedur voting, sedangkan para duta besar melakukan negosiasi pribadi.