
Beberapa waktu lalu (April 2019), Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri) memanggil kurator Taman Safari Indonesia (TSI) terkait dugaan perdagangan liar satwa. Diduga, terdapat oknum TSI yang bekerja sama dengan sindikat perdagangan ilegal hewan-hewan yang dilindungi. Kasus ini berawal dari Polisi yang menangkap pihak yang tertangkap karena kasus penjualan Monyet Yaki di Bandung, Jawa Barat, Januari 2019 lalu.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.504 pulau (dengan 16.056 pulau yang sudah diberi nama dan terverifikasi) (KKP, 2017) yang tersebar di 32 provinsi (sebelum terjadi pemekaran Kalimantan Utara dan Sulawesi Barat).
Banyaknya pulau, luasnya wilayah, beragamnya keadaan iklim, bentuk pulau, jumlah ekosistem, sejarah geologi, unit biogeografi, evolusi, dan proses spesiasi membuat Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tinggi, baik untuk keanekaragaman genetik, spesies, maupun ekosistem. Terdapat 10% dari tumbuhan berbunga di dunia, 15% dari spesies serangga, 25% ikan, 16% amfibia dan reptil, 17% burung, dan kurang lebih 12% mamalia (Supriatna, 2014)
Fakta bahwa Indonesia memiliki potensi yang kaya akan tumbuhan dan satwa menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pemasok terbesar dalam perdagangan tumbuhan dan satwa.
Sumber: Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku
Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar (TSL) sebagai komoditas perdagangan di Indonesia adalah hal yang diizinkan asalkan tetap pada batas yang diizinkan. Pemanfaatan ini dianggap telah mampu menopang ekonomi masyarakat secara signifikan. Kegiatan perdagangan ini tidak hanya berlaku di dalam negeri tetapi juga sebagai komoditas ekspor yang menyumbang devisa. Guna menjaga kelestarian TSL, komoditas tersebut diambil dari habitat alam dan diusahakan di luar habitatnya dalam bentuk penangkaran satwa, budidaya tumbuhan liar dan domestikasi satwa.
Pemanfaatan sumber daya alam oleh rakyat Indonesia telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 2, dan diatur dalam berbagai peraturan turunannya. Pemanfaatan TSL dalam perdagangan internasional juga telah diatur dalam kesepakatan bersama yang tercantum dalam the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Peraturan dan konvensi tersebut pada dasarnya menyepakati bahwa pemanfaatan TSL yang lestari harus berdasarkan data dan informasi ilmiah yang meliputi antara lain populasi, distribusi, kelimpahan, status jenisdan sebagainya. Data dan informasi CITES tersebut sangat penting untuk acuan evaluasi pemerintah mengenai dampak pemanfaatan TSL tersebut terkait kelestarian dan potensi kepunahannya.
CITES telah mendata dan mendaftarkan lebih dari 30.000 spesies (Erwin, 2008) yang mencakup sekitar 5.000 spesies hewan dan 25.000 spesies tumbuhan. Sebagian dari jumlah spesies tersebut merupakan spesies yang hanya hidup di Indonesia (spesies endemik). Spesies-spesies tersebut diklasifikasikan ke dalam appendiks-appendiks berdasarkan jumlah populasi dan tingkat ancaman terhadap spesies itu sendiri dari kepunahan. Appendiks tersebut digolongkan menjadi 3 (CITES, 1973), yaitu:
- Apendiks I adalah daftar seluruh spesies TSL yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional karena terancam oleh kepunahan yang mungkin dipengaruhi oleh adanya perdagangan.
- Apendiks II: daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah jika perdagangan terus berlanjut tanpa pengaturan ketat
- Apendiks III: daftar spesies TSL yang diatur melalui peraturan nasional di negara tertentu dengan tujuan untuk melindungi dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I.
Sayangnya, saat ini marak terjadi perdagangan TSL secara ilegal. Penyebab terjadinya perdagangan ilegal TSL karena kelangkaan serta keunikannya, sehingga menimbulkan keinginan pihak tertentu untuk memilikinya secara utuh ataupun bagian-bagiannya. Seolah-olah terjadi hukum “semakin langka maka semakin menjadi orang berkelas apabila dapat memilikinya”. Selain itu, adanya faktor budaya yang melahirkan kepercayaan bahwa bagian tubuh tertentu satwa langka dapat menyembuhkan penyakit bahkan menjadi pembawa keberuntungan.
Mengambi contoh kasus pada perdagangan ilegal satwa liar, pada faktanya satwa langka yang diperjualbelikan secara ilegal berasal dari hasil tangkapan bukan dari pembiakan melalui penangkaran hewan. Laporan dari ProFauna menyebutkan bahwa 95% satwa yang dijual di pasar adalah hasil tangkapan dari alam, bukan hasil penangkaran dan lebih dari 20% satwa langka yang dijual di pasar telah mati akibat pengangkutan yang tidak layak. Dilansir dari Media Indonesia (2018), transaksi terkait dengan perdagangan satwa liar dilindungi di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp 13 trilliun per tahun. Kejahatan itu menduduki peringkat ketiga setelah kejahatan narkoba dan perdagangan manusia.
Beberapa wilayah di Indonesia diketahui sebagai wilayah rawan perdagangan ilegal satwa yang dilindungi. Makassar menjadi salah satu kota transit perdagangan satwa yang dilindungi. Adapun Cirebon, kini telah memasuki zona merah dalam lalu lintas perdagangan TSL (Pikiran Rakyat, 2019).
Belum lama ini, Direktorat Tindak Pidana Tertentu Barekrim Polri juga menangkap sejumlah pelaku perdagangan ilegal atas satwa liar tanpa dokumen resmi serta kasus penjualan Kakaktua Hitam ke Bangkok, Thailand dan orang utan ke Dhaka Bangladesh.
Sanksi bagi pelaku perdagangan ilegal TSL diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Sayangnya, sanksi yang ditentukan di dalamnya relatif ringan, padahal nilai kerugian yang ditimbulkan atas perdagangan ilegal ini begitu besar, terutama dari segi kerugian lingkungan.
Sudah saatnya mengatasi perdagangan ilegal TSL agar terhindar dari ancaman kepunahan akibat dari eksploitasi kepentingan komersial. Hal ini mengingat nilai hakiki yang dimiliki TSL sebagai makhluk hidup serta perannya untuk menyeimbangkan ekosistem. Selain itu, sanksi hukum juga perlu disesuaikan dengan memperbanyak referensi lapangan untuk menjatuhkan hukuman setimpal pada pihak yang terlibat perdagangan ilegal. Beratnya sanksi yang dijatuhkan juga perlu dibedakan sesuai dengan tingkat kelangkaan TSL.
Sumber Foto Cover:
Antara Foto/Fiqman Sunandar dalam CNN Indonesia
Referensi:
Convention on the International Trade of Endangered Species (CITES). (1973).
Erwin, M. (2008) Hukum lingkungan dalam sistem kebijaksanaan pembangunan lingkungan hidup. Bandung: Grafika Media.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2017). Laporkan 2.590 pulau bernama ke PBB, pulau Indonesia yang bernama kini berjumlah 16.056. https://kkp.go.id/djprl/artikel/874-laporkan-2-590-pulau-bernama-ke-pbb-pulau-indonesia-yang-bernama-kini-berjumlah-16-056
Media Indonesia. (2018). Perdagangan satwa liar Rp13 triliun per tahun.http://mediaindonesia.com/read/detail/158274-perdagangan-satwa-liar-rp13-triliun-per-tahun
Pikiran Rakyat. (2019). Cirebon jadi zona merah perdagangan tumbuhan dan satwa langka. https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2019/04/08/cirebon-jadi-zona-merah-perdagangan-tumbuhan-dan-satwa-langka
ProFauna. Fakta tentang satwa liar Indonesia. https://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia#.XLBiX0szbIU.
Supriatna, J (2014). Kekayaan hayati Indonesia sebagai aset pembangunan di Indonesia.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 2.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.