This is the default blog title

This is the default blog subtitle.

Plus-Minus Big Data dalam Menjaga Privasi User

Plus-Minus Big Data dalam Menjaga Privasi User

Banyak cara menghabiskan waktu di pagi hari. Jika para pemimpin dunia sarapan dengan informasi intelijen, orang kebanyakan sarapan dengan surat kabar atau berita pagi di TV, maka sarapan saya adalah beranda facebook.

Pagi ini agak surprise dapat iklan kaos keren yang pas banget dengan bulan kelahiran. Dulu juga pernah ada iklan casing HP yang pas sesuai HP yang saya pakai. Selintas merasa beruntung. Tapi direnungkan lagi, ini artinya privasi kita sejatinya sudah tidak ada. Sekali kita melempar informasi ke ranah maya atau online maka data itu sudah jadi milik publik atau umum.

Data menyangkut profil pribadi, dengan siapa kita sering berinteraksi, di mana lokasi sering berada, kata kunci apa yang sering digunakan di mesin pencari, lagu dan video apa yang sering kita konsumsi, tautan yang sering kita kunjungi, bahkan nomor-nomor kontak di phonebook, sudah tersimpan di sebuah server yang bahkan kita tidak tahu ada di mana. Tempat itu sekarang lebih dikenal dengan Big Data.

Sampai beberapa tahun lalu, keanggotaan media sosial beberapa masih berbayar. Dimaklumi, karena pengadaan server, pembuatan aplikasi, mengupah pegawai, dst perlu biaya. Tapi sekarang rasa-rasanya amat jarang atau bahkan tidak ada lagi. Untuk pemasukannya mereka bekerja sama dengan pihak ke-tiga pemilik uang yaitu advertiser (pemasang iklan).

Pihak advertiser selalu ingin iklannya tampil kepada calon konsumen yang tepat sasaran (kalau saya jual produk bayi, misalnya. Tentu saya ingin iklan saya ditampilkan kepada orang dengan profil : wanita, usia 20-40 tahun, menikah, dst). Potensi produk terjual lebih besar. Berlatar belakang kostumisasi itulah perang data dimulai. Siapa yang menguasai data, maka menguasai advertiser. Sosial media berlomba meng-collect “DATA” penggunanya sebagai alat bargaining dengan pihak ke-3, bukan lagi memungut iuran anggota.

Di film Arrival (2016) kita diberi gambaran bahwa konsepsi “alat” (tools) bisa dipertukarkan makna dengan “senjata” (weapon). Tergantung pemaknaan dan siapa penggunanya.

Sejauh ini penggunaan data (kelihatannya) masih berkutat di seputar ekonomis periklanan dengan pola Non-Zero Sum Game (Win-win solution). Tapi jaman terus berkembang sesuai para aktor penentu kebijakan di dalamnya. Siapa sangka, 7 warga negara tertentu sekarang tidak bisa masuk ke sebuah negara dengan alasan profil atau latar belakang seseorang. Di negara lain, ribuan orang di-tewaskan dan ribuan lain masuk penjara karena profil yang mungkin dulu dianggap hal lumrah. Di masa depan?! Siapa yang tahu?

Akhir kata tidak seperti menulis “dear diary” di jurnal harian, meng-online-kan diri relatif dapat bermata dua : keuntungan dan resiko sesuai profil yang kita bentuk di dimensi dunia maya.

 

Wallahu ‘aalam.

 

Penulis : Bachtiar Achmad Seorang Mahasiswa Pascasarjana di Jurusan Manajemen Pertahanan, Universitas Pertahanan T.A 2016/2017

Facebook Comments

About Redaksi Ruang Rakyat

RuangRakyat memberikan ruang bagi kamu yang ingin menuangkan gagasan ke seluruh rakyat Indonesia.