This is the default blog title

This is the default blog subtitle.

Serangan Misil Amerika Ke Suriah Sebagai GunBoat Diplomacy

Serangan Misil Amerika Ke Suriah Sebagai GunBoat Diplomacy

RuangRakyat — Di bawah perintah langsung Presiden Donald Trump, AS akhirnya melancarkan serangan militer ke pangkalan udara Suriah pada Jumat (7/4) pukul 03.40 dini hari menyusul tuduhan “serangan senjata kimia” oleh rezim Presiden Bashar al-Assad yang diklaim mengakibatkan setidaknya 80 nyawa sipil tewas, termasuk anak-anak.

“Dozens of Tomahawks were launched against a single Syrian regime airfield,” ungkap Departemen Pertahanan AS pada Vox (7/4).

Juru bicara Pentagon Captain Jeff Davis mengonfirmasi serangan ini. Sebanyak 59 rudal jelajah diluncurkan dari dua kapal Perang AS di Mediterania Timur ke pangkalan “Shayrat”. 36 ditembakkan dari USS (United States Ship) Ross dan 23 lainnya diluncurkan dari USS Porter. Serangan ini menargetkan pesawat, tempat penampungan pesawat, minyak bumi dan penyimpanan logistik, bunker pasokan amunisi, sistem pertahanan udara, dan aspek vital operasional pangkalan udara.

Indikasi awal serangan ini telah mengakibatkan kerusakan parah pangkalan udara Suriah dan infrastruktur pendukung serta peralatan di Shayrat yang dapat mengurangi kemampuan rezim Assad melakukan serangan senjata kimia, ungkap pentagon. Enam orang tewas akibat serangan ini menurut Syrian’s Armed Forces General Command.

Respons Suriah dan Rusia

Rusia dann aliansinya jelas mengecam tindakan As. Rusia mengutuk serangan ini dan mengatakan hal ini sebagai “aksi agresi” terhadap negara berdaulat. Sependapat dengan aliansinya, kantor Presiden Bashar al-Assad hari Jumat mengatakan tindakan ini sebagai “tindakan tercela” yang menggambarkan kepicikan.

Rusia mengatakan mereka yakin Suriah telah menghancurkan semua senjata kimianya dan serangan AS hanya didasarkan pada “dalih yang terlalu mengada-ada.”

Duta Besar Rusia Vladimir Sarfonkov mengatakan bahwa tindakan ini adalah pelanggan terhadap hukum internasional sebab merupakan tindakan agresi terhadap negara berdaulat di mana memberikan konsekuensi bagi keamanan regional dan internasional sangat serius. Safronkov menambahkan agar AS bekerja bersama untuk memerangi ancaman teroris. Rusia menuntut pertemuan darurat setelah serangan ini

Klaim AS

Serangan ini merupakan serangan militer yang pertama kalinya dilakukan AS melawan rezim Assad selama enam tahun perang sipil Suriah. Hal ini meningkatkan eskalasi kedua kubu, Suriah dapat saja menginterpretasikan serangan ini sebagai aksi perang.

Presiden Trump menegaskan bahwa tindakan ini harus dilakukan sebab Presiden Suriah Bashra al-Assad bertanggung jawab atas “serangan senjata kimia”. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Rex Tillerson mengatakan bahwa di masa depan Assad tidak akan memiliki “peran” memerintah Suriah, untuk itu AS memimpin komunitas internasional untuk menjatuhkan Assad.

As mengklaim bahwa tindakan ini mewakili komunitas internasional dan hal ini sangat vital bagi keamanan AS untuk mencegah dan menangkal penyebaran dan penggunaan senjata kimia mematikan. Dia menambahkan bahwa serangan senjata kimia Assad adalah bentuk pelanggaran terhadap Konvensi Senjata Kimia dan mengabaikan desakan Dewan Keamanan PB.

Keputusan Trump menandai pergeseran dramatis dalam pergolakan keputusan apakah AS akan mengambil tindakan militer terhadap rezim Assad atau tidak. Saat kampanye, Trump mengutarakan hal sebaliknya, yaitu untuk mengurangi fokus memberantas ISIS, AS justru harus mulai berusaha bermitra dengan Rusia yang telah sungguh-sungguh mendukung rezim Assad untuk mengalahkan ISIS dan mengakhiri konflik. Saat itu Trump juga mengatakan bahwa invasi terhadap Iraq adalah hal yang “bodoh” sebab jutaan dolar terbuang percuma.

Pada tahun 2013 Trump  juga pernah mengkritik keputusan Obama menyerang Suriah. Trump mengatakan AS harus “keluar dan menjauh dari Suriah” serta mendesak Obama di Twitter untuk “tidak menyerang Suriah” menyusul serangan awal senjata kimia tahun 2013. Ada pergeseran kebijakan yang tercermin dari tindakan sepihak Trump menyerang Surih ini.

Unilateralisme AS atau Coallition of the willing?

Keputusan Trump menyerang Suriah datang sehari setelah dia mengatakan serangan kimia yang efeknya sangat mengerikan disiarkan di seluru dunia. Hal ini melanggar nilai kemanusiaan dan Trump merasa bertanggung jawab untuk memberikan respons. Keputusan ini diambil Trump setelah berdiskusi dengan tim keamanan nasional.

AS memang dikenal sebagai “polisi dunia” yang kerap mengambil kebijkan luar negeri, terutama militer secara sepihak yang terkadang sangat kontroversial. Dari perspektif pengambilan keputusan, tindakan Trump dapat dikatakan sebagai tindakan “unilateralisme”, yakni kebijakan atau praktek urusan luar negeri tanpa/dengan konsultasi sangat kecil dengan negara-negara lain, termasuk negara sekutu.

Dari pergeseran pandangan Trump yang dahulunya menentang keterlibatan militer AS di Suriah semasa Presiden Obama, sikap ini dapat dinilai cukup spontan. Anggota parlemen AS sendiri pada umumnya mendukung keputusan Trump, namun mereka memperingatkan Trump untuk tidak bertindak sepihak dan melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan Kongres.

Duta Besar AS Nikki Haley mengatakan bahwa Rusia seharusnya menjadi penjamin dihilangkannya senjata kimia dari Suriah di bawah perjanjian tahun 2013.

“The world is waiting for Russia to act responsibly in Syria”, ungkapnya.

Demikian halnya Senator Paul yang menyarankan Trump berkonsultasi dengan Kongres. “Presiden membutuhkan otorisasi kongres untuk aksi militer seperti yang diprasyaratkan oleh Konstitusi, dan saya memanggil dia untuk datang ke Kongres untuk melakukan perdebatan sebelum mengambil keputusan”, ungkapnya.

Saat itu, September 2014 di bawah pemerintahan Barack Obama, AS memang pernah meluncurkan serangan udara ke Suriah tapi hanya menargetkan kelompok teroris dan bukan pasukan pemerintah Suriha sebagai bagian dari kampanye koalisi melawan ISIS, bukan seperti serangan baru-baru ini.

Namun apakah sikap unilateralisme tersebut menjadi satu-satunya pertimbangan? Faktanya, banyak pula yang mengamini keputusan Trump.

Dilihat dari dukungan negara lain, tindakan AS dapat dipahami sebagai “coalition of the willing”, yakni sekolompok negara yang setuju untuk bertindak bersama khusunya dalam keterlibatan militer; istilah ini uatamanya diasosiasikan pada intervensi AS di Iraq tahun 2003.

Walau mengklaim tindakan ini sebagai keputusan internasional, nyatanya tidak semua anggota Dewan Keamanan PBB mendukung keputusan Trump, hanya negara-negara yang sependapat dengan pandangan AS saja.

Anggota Dewan Keamanan PBB yang jelas mendukung serangan tersebut adalah negara sekutu AS di perang Suriah yaitu Turki, Israel, dan Saudi Arabia. Sisanya adalah Inggris, Jerman, Perancis, Australia, Italia, Poland, UAE, Kanada dan Jepang. Sedangkan negara yang tidak mendukung adalah Suriah sendiri dan sekutunya Rusia dan Iran, sisanya hanya Bolivia. Sementara itu China dan Swedia memilih netral atau unclear.

Melalui pernyataan Duta Besar Inggris Matthew Rycorft, Inggris menyatakan dukungan penuh atas keputusan Trump dan menganggap serangan tersebut sebagai “respons yang proporsional terhadap tindakan yang diluar batas”. Di depan 15 anggota Dewan Keamanan PBB, Inggris meminta Rusia untuk menghentikan “strategi yang gagal” dan “perlindungan terhadap penjahat perang” dan bergabung dengan Barat untuk menjatuhkan sanksi.

Dari pandangan negara-negara tersebut, Bolivia sebagai negara yang menolak mengecam sikap AS yang bersikap seperti “pengacara, hakim, sekaligus pelaksana.”

Sedangkan Menteri Luar Negeri China mengungkapkan agar semua pihak berkepala dingin dan mencegah meningkatnya eskalasi. Sementara itu, Swedia masih mempertanyakan kajian kasus ini menurut hukum internasional.

Gunboat Diplomacy, akankah perang terjadi?

Sampai hari ini, AS masih menjadi negaa dengan kekuatan militer terbesar, tidak hanya untuk mengamankan negaranya namun juga “mengamankan” kepentingannya di seluruh dunia. Serangan AS ke Surih membuka kembali babak sikap intervensionis AS di Suriah setelah tahun 2013.

Serangan rudal As dapat dikatakan sebagai bentuk “diplomasi kapal meriam” atau gunboat diplomacy. James Cable dalam bukunya Gunboat Diplomacy tahun 1981 mendefinisikannya sebagai penggunaan kekuatan angkatan laut secara terbatas bukan dimaksudkan untuk berperang melainkan untuk mengamankan kepentiangan nasional dalam situasi konflik internasional atau menekan wilayah kedaulatan negara lain di dalam wilayah kedaulatan negara bersangkutan.

Konteks ini memperlihatkan kalau AS memiliki kepentingan nasional untuk menurunkan rezim Assad dan merespon atas tindakan yang dianggap tidak sesuai. Tidak hanya itu, AS juga berusaha memperlihatkan kepada sekutu Assad bahwa AS memiliki kapasitas menyerang yang dapat mengakibatkan kerugian di pihak lawan.

Memang, intensi serangan tesebut bukanlah perang. Namun, akibat yang ditimbulkan oleh serangan itu  memberikan efek detterence di mana AS berjanji akan melakuan hal yang lebih buruk sewaktu-waktu lawan bertindak semakin parah.

Logika dari gunboat diplomacy ini adalah, apabila pihak lawan juga merespon hal yang sama perang dapat benar-benar terjadi.

Delegasi Rusia untuk PBB mengecam AS untuk melakukan serangan terhadap sebuah pangkalan udara di Suriah Kamis malam, dan memperingatkan bahwa setiap intervensi militer AS lebih lanjut terhadap rezim dukungan Moskow hanya akan menimbulkan semakin banyak pertumpahan darah. Lalu apakah Rusia sebagai sekutu yang memiliki kekuatan yang cukup sepadan dengan AS akan tergerak berperang?

Facebook Comments

About Renni N. S Gumay

Seorang akademisi yang memiliki minat dalam jurnalistik dan tertarik pada isu politik, keamanan, pertahanan dan kemanusiaan.