
Dulu, tahun 2009, waktu umat Islam minoritas di Swiss mau membangun menara masjid (Menara ya. Masjidnya sendiri sudah ada), ramai orang Swiss menentang. Kata mereka, menara masjid, dan juga termasuk bangunan masjid sebenarnya, tidak sesuai dengan budaya setempat dan merusak lansekap kota yang ada. Padahal menaranya ada di dalam lingkungan masjid. Terkait isu ini bahkan sampai diadakan referendum nasional di Swiss (lihat https://en.m.wikipedia.org/w…/Swiss_minaret_referendum,_2009).
Eh sekarang giliran ada segelintir umat Islam yang menentang pembangunan patung dewa Kwan Sing Tee Koen di Tuban. Alasan penentangannya, uniknya, sama dengan orang-orang Swiss tadi, yaitu tidak cocok dengan lansekap budaya dan agama masyarakat setempat. Padahal patungnya ada di dalam lingkungan klenteng.
Melihat perilaku kelompok-kelompok seperti itu, saya benar-benar merasa geli. Dan bukan sekali ini saya geli. Sebenarnya ada banyak lagi contoh perilaku standar ganda seperti ini yang telah dilakukan kelompok-kelompok dari berbagai agama, tapi saya malas menyebutkan di sini satu per satu.
Melihat bahwa perilaku seperti ini telah dilakukan oleh kelompok-kelompok dari banyak agama dan berbagai tingkat kemajuan ekonomi (lndonesia, Swiss, dll), sebenarnya ada satu pelajaran yang bisa kita ambil. Apa? Yaitu sikap tidak toleran tidak ada kaitannya dengan agama, tingkat pendidikan, ataupun kemajuan ekonomi pengusungnya.
Sikap toleransi itu perlu dilatih. Dan tentunya ditumbuhkan. Melalui pendidikan sejak dini, baik di lingkungan formal (sekolah, tempat kerja, dll) maupun, yang lebih penting, informal (keluarga). Tentunya kalau kita peduli terhadap pentingnya toleransi.
Terlalu naif orang-orang Indonesia yang mencaci maki negaranya sendiri dengan mengatakan bahwa orang-orang Indonesia tidak toleran (seakan semua orang Indonesia sama) dan oleh karena itu tidak akan pernah maju seperti AS atau Jerman. Mereka lantas mengatakan, mereka sebenarnya ingin pindah saja dari negara ini.
Hehe, buat saya, perilaku orang-orang yang mau enaknya saja ya seperti ini. Kalau Anda mau perubahan, ya Anda harus ikut berjuang bersama-sama. Di negara manapun, itulah kewajiban kita sebagai warga negara.
Apakah Anda kira di negara-negara maju tidak ada sikap intoleransi? Sejarah intoleransi negara-negara maju bahkan banyak yang lebih berdarah-darah dari kita sebenarnya (baca sejarah pembantaian Indian Amerika atau pemancungan warga kulit hitam di AS; atau pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman).
Juga salah orang-orang yang mencoba membenarkan sikap intoleran mereka kepada pihak lain dengan sikap intoleran yang telah dilakukan pihak lain ke mereka.
Kalau kita memang orang yang senantiasa mencoba berpegang pada kebenaran, kita akan bertanya “Sebenarnya sikap apa yang benar?”. Jangan korbankan prinsip kebenaran karena ada manusia-manusia lain yang tidak menjalankannya. Kebenaran dan keadilan harus dijalankan tanpa pandang bulu. Sekali lagi, tentunya kalau kita peduli. Pada kebenaran dan keadilan.
Jadi, mengingat sikap intoleran bisa muncul di berbagai keadaan masyarakat, maka untuk menghadapinya diperlukan sikap toleran yang tidak bisa muncul secara otomatis, melainkan harus dibentuk dan ditumbuhkan.
Perubahan bisa dimulai ketika Anda, saya dan semua orang memulainya di lingkungan terdekat kita.
oleh: M. Arief Wibowo